MAKALAH SEJARAH PERADABAN
ISLAM PADA MASA BANI UMAYYAH
Dosen:
Ma`shum Faqih , SPd.I
Oleh:
~Achmad Asrori
~Nasruddin
~Roni
Jurusan pendidikan Agama
Islam
Sekolah Tinggi ILmu Tarbiyah Raden Santri
Gresik
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Berakhirnya
kekuasaan khalifah Ali bin Abi Thalib mengakibatkan lahirnya kekuasan yang
berpola Dinasti atau kerajaan. Pola kepemimpinan sebelumnya (khalifah Ali) yang
masih menerapkan pola keteladanan Nabi Muhammad, yaitu pemilihan khalifah
dengan proses musyawarah akan terasa berbeda ketika memasuki pola kepemimpinan
dinasti-dinasti yang berkembang sesudahnya. Bentuk pemerintahan dinasti atau
kerajaan yang cenderung bersifat kekuasaan foedal dan turun temurun, hanya
untuk mempertahankan kekuasaan, adanya unsur otoriter, kekuasaan mutlak,
kekerasan, diplomasi yang dibumbui dengan tipu daya, dan hilangnya keteladanan
Nabi untuk musyawarah dalam menentukan pemimpin merupakan gambaran umum tentang
kekuasaan dinasti sesudah khulafaur rasyidin. Dinasti Umayyah merupakan
kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Muawiyah Ibn Abi Sufyan. Perintisan
dinasti ini dilakukannya dengan cara menolak pembai’atan terhadap khalifah Ali
bin Abi Thalib, kemudian ia memilih berperang dan melakukan perdamaian dengan
pihak Ali dengan strategi politik yang sangat menguntungkan baginya.
[1] Jatuhnya
Ali dan naiknya Muawiyah juga disebabkan keberhasilan pihak khawarij (kelompok
yang membangkan dari Ali) membunuh khalifah Ali, meskipun kemudian tampuk
kekuasaan dipegang oleh putranya Hasan, namun tanpa dukungan yang kuat dan
kondisi politik yang kacau akhirnya kepemimpinannya pun hanya bertahan sampai
beberapa bulan. Pada akhirnya Hasan menyerahkan kepemimpinan kepada Muawiyah,
namun dengan perjanjian bahwa pemmilihan kepemimpinan sesudahnya adalah
diserahkan kepada umat Islam. Perjanjian tersebut dibuat pada tahun 661 M / 41
H dan dikenal dengan am jama’ah karena perjanjian ini mempersatukan ummat Islam
menjadi satu kepemimpinan, namun secara tidak langsung mengubah pola
pemerintahan menjadi kerajaan. Meskipun begitu, munculnya Dinasti Umayyah
memberikan babak baru dalam kemajuan peradaban Islam, hal itu dibuktikan dengan
sumbangan-sumbangannya dalam perluasan wilayah, kemajuan pendidikan, kebudayaan
dan lain sebagainya.
B.
Rumusan
Masalah
Ada pun
masalah yang akan dibahas dalam
makalah ini adalah sebagai berikut : Pendirian Dinasti Bani Umayyah
makalah ini adalah sebagai berikut : Pendirian Dinasti Bani Umayyah
Pola
Pemerintahan Dinasti bani Umayyah
Masa
Pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz
Ekspansi
Wilayah Dinasti Bani Umayyah
Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Bani Umayyah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendirian Dinasti Bani Umayyah
Asal
Mula Dinasti Bani Umayyah Proses terbentuknya kekhalifahan Bani Umayyah dimulai
sejak khalifah Utsman bin Affan tewas terbunuh oleh tikaman pedang Humran bin
Sudan pada tahun 35 H/656 M. Pada saat itu khalifah Utsman bin Affan di anggap
terlalu nepotisme (mementingkan kaum kerabatnya sendiri) dalam menunjuk para
pembantu atau gubernur di wilayah kekuasaan Islam. Masyarakat Madinah khususnya
para shahabat besar seperti Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam
mendatangi shahabat Ali bin Abi Thalib untuk memintanya menjadi khalifah
pengganti Utsman bin Affan. Permintaan itu di pertimbangkan dengan masak dan
pada akhirnya Ali bin Abi Thalib mau menerima tawaran tersebut. Pernyataan bersedia
tersebut membuat para tokoh besar diatas merasa tenang, dan kemudian mereka dan
para shahabat lainnya serta pendukung Ali bin Abi Thalib melakukan sumpah setia
(bai’at) kepada Ali pada tanggal 17 Juni 656 M/18 Dzulhijah 35 H. Pembai’atan
ini mengindikasikan pengakuan umat terhadap kepemimpinannya. Dengan kata lain,
Ali bin Abi Thalib merupakan orang yang paling layak diangkat menjadi khalifah
keempat menggantikan khalifah Utsman bin Affan. Pengangkatan Ali bin Abi Thalib
sebagai khalifah keempat oleh masyarakat madinah dan sekelompok masyarakat
pendukung dari Kuffah
ternyata
ditentang oleh sekelompok orang yang merasa dirugikan. Misalnya Muwiyah bin Abi
Sufyan gubernur Damaskus, Syiria, dan Marwan bin Hakam yang ketika pada masa
Utsman bin Affan, menjabat sebagai sekretaris khalifah.
Dalam suatu catatan yang di peroleh dari khalifah Ali adalah bahwa Marwan pergi ke Syam untuk bertemu dengan Muawiyah dengan membawa barang bukti berupa jubah khalifah Utsman yang berlumur darah. Penolakan Muawiyah bin Abi Sufyan dan sekutunya terhadap Ali bin Abi Thalib menimbulkan konflik yang berkepanjangan antara kedua belah pihak yang berujung pada pertempuran di Shiffin dan dikenal dengan perang Sifin, Pertempuran ini terjadi di antara dua kubu yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan (sepupu dari Usman bin Affan) dan Ali bin Abi Talib di tebing Sungai Furat yang kini terletak di Syria (Syam) pada 1 Shafar tahun 37 H/657 M
Dalam suatu catatan yang di peroleh dari khalifah Ali adalah bahwa Marwan pergi ke Syam untuk bertemu dengan Muawiyah dengan membawa barang bukti berupa jubah khalifah Utsman yang berlumur darah. Penolakan Muawiyah bin Abi Sufyan dan sekutunya terhadap Ali bin Abi Thalib menimbulkan konflik yang berkepanjangan antara kedua belah pihak yang berujung pada pertempuran di Shiffin dan dikenal dengan perang Sifin, Pertempuran ini terjadi di antara dua kubu yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan (sepupu dari Usman bin Affan) dan Ali bin Abi Talib di tebing Sungai Furat yang kini terletak di Syria (Syam) pada 1 Shafar tahun 37 H/657 M
Muawiyah
tidak menginginkan adanya pengangkatan kepemimpinan umat Islam yang baru.
Beberapa saat setelah kematian khalifah Utsman bin Affan, masyarakat muslim
baik yang ada di Madinah , Kuffah, Bashrah dan Mesir telah mengangkat Ali bin
Abi Thalib sebagai khalifah pengganti Utsman. Kenyataan ini membuat Muawiyah
tidah punya pilihan lain, kecuali harus mengikuti khalifah Ali bin Abi Thalib
dan tunduk atas segala perintahnya. Muawiyah menolak kepemimpinan tersebut juga
karena ada berita bahwa Ali akan mengeluarkan kebijakan baru untuk mengganti
seluruh gubernur yang diangkat
Utsman bin Affan. Muawiyah mengecam agar tidak mengakui (bai’at) kekuasaan Ali bin Abi Thalib sebelum Ali berhasil mengungkapkan tragedi terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, dan menyerahkan orang yang dicurigai terlibat pembunuhan tersebut untuk dihukum. Khalifah Ali bin Abi Thalib berjanji akan menyelesaikan masalah pembunuhan itu setelah ia berhasil menyelesaikan situasi dan kondisi di dalam negeri. Kasus itu tidak melibatkan sebagian kecil individu, juga melibatkan pihak dari beberapa daerahnya seperti Kuffah, Bashradan Mesir.
Utsman bin Affan. Muawiyah mengecam agar tidak mengakui (bai’at) kekuasaan Ali bin Abi Thalib sebelum Ali berhasil mengungkapkan tragedi terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, dan menyerahkan orang yang dicurigai terlibat pembunuhan tersebut untuk dihukum. Khalifah Ali bin Abi Thalib berjanji akan menyelesaikan masalah pembunuhan itu setelah ia berhasil menyelesaikan situasi dan kondisi di dalam negeri. Kasus itu tidak melibatkan sebagian kecil individu, juga melibatkan pihak dari beberapa daerahnya seperti Kuffah, Bashradan Mesir.
Permohonan
atas penyelesaian kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan ternyata juga
datang dari istri Nabi Muhammad saw, yaitu Aisyah binti Abu Bakar. Siti Aisyah
mendapat penjelasan tentang situasi dan keadaan politik di ibukota Madinah,
dari shahabat Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair ketika bertemu di Bashrah. Para
shahabat menjadikan Siti Aisyah untuk bersikap sama, untuk penyelesaian
terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, dengan alasan situasi dan kondisi tidak
memungkinkan di Madinah. Disamping itu, khalifah Ali bin Abi Thalib tidak
menginginkan konflik yang lebih luas dan lebar lagi. Akibat dari penanganan
kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, munculah isu bahwa khalifah Ali
bin Abi Thalib sengaja mengulur waktu karena punya kepentingan politis untuk mengeruk
keuntungan dari krisis tersebut. Bahkan Muawiyah menuduh Ali bin Abi Thalib
berada di balik kasus pembunuhan tersebut.
Tuduhan ini tentu saja tuduhan yang tidak
benar, karena justru pada saat itu Sayidina Ali dan kedua putranya Hasan dan
Husein serta para shahabat yang lain berusaha dengan sekuat tenaga untuk
menjaga dan melindungi khalifah Utsman bin Affan dari serbuan massa yang
mendatangi kediaman khalifah. Sejarah mencatat justru keadaan yang patut di
curigai adalah peran dari kalangan pembesar istana yang berasal dari keluarga
Utsman dan Bani Umayyah. Pada peristiwa ini tidak terjadi seorangpun di antara
mereka berada di dekat khalifah Utsman bin Affan dan mencoba memberikan bantuan
menyelesaikan masalah yang dihadapi khalifah.
Dalam
menjalankan roda pemerintahannya, kalifah Utsman bin Affan banyak menunjuk para
gubernur di daerah yang berasal dari kaum kerabatnya sendiri. Salah satu
gubernur yang ia tunjuk adalah gubernur Mesir, Abdullah Sa’ad bin Abi Sarah.
Gubernur Mesir ini di anggap tidak adil dan berlaku sewenang-wenang terhadap
masyarakat Mesir. Ketidak puasan ini menyebabkan kemarahan di kalangan
masyarakat sehingga mereka menuntut agar Gubernur Abdullah bin Sa’ad segera di
ganti. Kemarahan para pemberontak ini semakin bertambah setelah tertangkapnya
seorang utusan istana yang membawa surat resmi dari khalifah yang berisi
perintah kepada Abdullah bin Sa’ad sebagai gubernur Mesir untuk membunuh
Muhammad bin Abu Bakar.
Atas
permintaan masyarakat Mesir, Muhammad bin Abu Bakar diangkat untuk menggantikan
posisi gubernur Abdulah bin Sa’ad yang juga sepupu dari khalifah Utsman bin
Affan. Tertangkapnya utusan pembawa surat resmi ini menyebabkan mereka menuduh
khalifah Utsman bin Affan melakukan kebajikan yang mengancam nyawa para
shahabat. Umat Islam Mesir melakukan protes dan demonstrasi secara massal
menuju rumah khalifah Utsman bin Affan. Mereka juga tidak menyenangi atas
sistem pemerintahan yang sangat sarat dengan kolusi dan nepotisme.
Keadaan
ini menyebabkan mereka
bertambah marah dan segera menuntut khalifah Utsman bin Affan untuk segera meletakkan jabatan.Persoalan-persoalan yang dihadapi oleh khalifah Utsman bin Affan semakin rumit dan kompleks, sehingga tidak mudah untuk di selesaikan secepatnya. Massa yang mengamuk saat itu tidak dapat menahan emosi dan langsung menyerbu masuk kedalam rumah khalifah, sehingga khalifah Utsman terbunuh dengan sangat mengenaskan.
bertambah marah dan segera menuntut khalifah Utsman bin Affan untuk segera meletakkan jabatan.Persoalan-persoalan yang dihadapi oleh khalifah Utsman bin Affan semakin rumit dan kompleks, sehingga tidak mudah untuk di selesaikan secepatnya. Massa yang mengamuk saat itu tidak dapat menahan emosi dan langsung menyerbu masuk kedalam rumah khalifah, sehingga khalifah Utsman terbunuh dengan sangat mengenaskan.
Ada
beberapa gubernur yang diganti semasa kepemimpinan khalifah Ali, antara lain
Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai gubernur Syam yang diganti dengan Sahal bin
Hunaif. Pengiriman gubernur baru ini di tolak Muawiyah bin Abi Sufyan serta
masyarakat Syam. Pendapat khalifah Ali bin Abi Thalib tentang pergantian dan
pemecatan gubernur ini berdasarkan pengamatan bahwa segala kerusuhan dan kekacauan
yang terjadi selama ini di sebabkan karena ulah Muawiyah dan gubernur-gubernur
lainnya yang bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahannya.
Begitu juga pada saat peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan
disebabkan karena kelalaian mereka.
Usaha Untuk
Memperoleh Kekuasaan Wafatnya khalifah Ali bin Abi Thalib pada tanggal 21
Ramadhan tahun 40 H/661 M, karena terbunuh oleh tusukan pedang beracun saat
sedang beribadah di masjid Kufah, oleh kelompok khawarij yaitu Abdurrahman bin Muljam, menimbulkan dampak politis yang cukup
berat bagi kekuatan umat Islam khususnya para pengikut setia Ali (Syi’ah). Oleh
karena itu, tidak lama berselang umat Islam dan para pengikut Ali bin Abi
Thalib melakukan sumpah setia (bai’at) atas diri Hasan bin Ali untuk di angkat
menjadi khalifah pengganti Ali bin Abi Thalib. Proses penggugatan itu dilakukan
dihadapan banyak orang.
Mereka
yang melakukan sumpah setia ini (bai’at) ada sekitar 40.000 orang jumlah yang
tidak sedikit untuk ukuran pada saat itu. Orang yang pertama kali mengangkat
sumpah setia adalah Qays bin Sa’ad, kemudian diikuti oleh umat Islam pendukung
setia Ali bin Abi Thalib. Pengangkatan Hasan bin Ali di hadapan orang banyak
tersebut ternyata tetap saja tidak mendapat pengangkatan dari Muawiyah bin Abi
Sufyan dan para pendukungnya. Dimana pada saat itu Muawiyyah yang menjabat
sebagai gubernur Damaskus juga menobatkan dirinya sebagai khalifah. Hal ini
disebabkan karena Muawiyah sendiri sudah sejak lama mempunyai ambisi untuk
menduduki jabatan tertinggi dalam dunia Islam. Namun Al-Hasan sosok yang jujur
dan lemah secara politik. Ia sama sekali tidak ambisius untuk menjadi pemimpin
negara. Ia lebih memilih mementingkan persatuan umat.
Hal
ini dimanfaatkan oleh muawiyah untuk mempengaruhi massa untuk tidak melakukan
bai’at terhadap hasan Bin ali. Sehingga banyak terjadi permasalahan politik,
termasuk pemberontakan – pemberontakan yang didalangi oleh Muawiyah bin Abi
Sufyan. Oleh karena itu, ia melakukan kesepakatan damai dengan kelompok
Muawiyah dan menyerahkan kekuasaannya kepada Muawiyah pada bulan Rabiul Awwal
tahun
41 H/661. Tahun kesepakatan damai antara Hasan
dan Muawiyah disebut Aam Jama’ah karena kaum muslimn sepakat untuk memilih satu pemimpin saja, yaitu Muawiyah ibn Abu Sufyan.
41 H/661. Tahun kesepakatan damai antara Hasan
dan Muawiyah disebut Aam Jama’ah karena kaum muslimn sepakat untuk memilih satu pemimpin saja, yaitu Muawiyah ibn Abu Sufyan.
Menghadapi situasi yang demikian kacau dan
untuk menyelesaikan persoalan tersebut, khalifah Hasan bin Ali tidak mempunyai
pilihan lain
kecuali perundingan dengan pihak Muawiyah. Untuk itu maka di kirimkan surat melalui Amr bin Salmah Al-Arhabi yang berisi pesan perdamaian. Dalam perundingan ini Hasan bin Ali mengajukan syarat bahwa dia bersedia menyerahkan kekuasaan pada Muawiyah dengan syarat antaralain:
kecuali perundingan dengan pihak Muawiyah. Untuk itu maka di kirimkan surat melalui Amr bin Salmah Al-Arhabi yang berisi pesan perdamaian. Dalam perundingan ini Hasan bin Ali mengajukan syarat bahwa dia bersedia menyerahkan kekuasaan pada Muawiyah dengan syarat antaralain:
1) Muawiyah
menyerahkan harat Baitulmal kepadanya untuk melunasi hutang-hutangnya kepada
pihak lain.
2) Muawiyah tak lagi melakukan cacian dan hinaan
terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib beserta keluarganya.
3) Muawiyah menyerahkan pajak bumi dari Persia
dan daerah dari Bijinad kepada Hasan setiap tahun.
4) Setelah Muawiyah berkuasa nanti, maka masalah
kepemimpinan (kekhalifahan) harus diserahkan kepada umat Islam untuk melakukan
pemilihan kembali pemimpin umat Islam.
5) Muawiyah tidak boleh menarik sesuatupun dari
penduduk Madinah, Hijaz, dan Irak. Karena
hal itu telah menjadi kebijakan khalifah Ali bin Abi Thalib sebelumnya
hal itu telah menjadi kebijakan khalifah Ali bin Abi Thalib sebelumnya
Untuk memenuhi
semua persyaratan, Hasan bin Ali mengutus seorang shahabatnya bernama Abdullah
bin Al-Harits bin Nauval untuk menyampaikan isi tuntutannya kepada Muawiyah.
Sementara Muawiyah sendiri untuk
menjawab dan mengabulkan semua syarat yang di ajukan oleh Hasan mengutus
orang-orang kepercayaannya seperti Abdullah bin Amir bin Habib bin Abdi Syama.
Setelah kesepakatan damai ini, Muawiyah mengirmkan sebuah surat dan kertas
kosong yang dibubuhi tanda tanggannya untuk diisi oleh Hasan. Dalam surat itu ia
menulis “Aku mengakui bahwa karena hubungan darah, Anda lebih berhak menduduki
jabatan kholifah. Dan sekiranya aku yakin kemampuan Anda lebih besar untuk
melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan, aku tidak akan ragu berikrar setia
kepadamu.” Itulah salah satu kehebatan Muawiyah dalam berdiplomasi. Tutur
katanya begitu halus, hegemonik dan seolah-olah bijak. Surat ini salah satu
bentuk diplomasinya untuk melegitimasi kekuasaanya dari tangan pemimpin
sebelumnya. Penyerahan kekuasaan pemerintahan Islam dari Hasan ke Muawiyah ini
menjadi tonggak formal berdirinya kelahiran Dinasti Umayyah di bawah pimpinan
khalifah pertama, Muawiyah ibn Abu Sufyan
Proses penyerahan dari Hasan bin
Ali kepada Muawiyah bin Abi Sufyan dilakukan di suatu tempat yang bernama
Maskin dengan ditandai pengangkatan sumpah setia. Dengan demikian, ia telah
berhasil meraih cita-cita untuk menjadi seorang pemimpin umat Islam
menggantikan posisi dari Hasan bin Ali sebagai khalifah. Meskipun Muawiyah
tidak mendapatkan pengakuan secara resmi dari warga kota Bashrah, usaha ini
tidak henti-hentinya dilakukan oleh Muawiyah sampai akhirnya secara defacto dan
dejure jabatan tertinggi umat Islam berada di tangan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Dengan demikian berdirilah dinasti baru yaitu Dinasti Bani Umayyah (661-750 M)
yang mengubah gaya kepemimpinannya dengan cara meniru gaya kepemimpinan
raja-raja Persia dan Romawi berupa peralihan kekuasaan kepada anak-anaknya
secara turun temurun. Keadaan ini yang menandai berakhirnya sistem pemerintahan
khalifah yang didasari asas “demokrasi” untuk menentukan pemimpin umat Islam
yang menjadi pilihan mereka. Pada masa kekuasaan Bani umayyah ibukota Negara
dipindahkan muawiyah dari Madinah ke Damaskus, tempat Ia berkuasa Sebagai
gubernur Sebelumnya.
Namun perlawanan terhadap bani
Umayyah tetap terjadi, perlawanan ini dimulai oleh Husein ibn Ali, Putra kedua
Khalifah Ali bin Abi Thalib. Husein menolak melakukan bai’at kepada Yazid bin
Muawiyah sebagai khalifah ketika yazid naik tahta. Pada tahun 680 M, ia pindah
dari Mekah
ke Kufah atas permintaan golongan syi’ahyang ada di Irak. Umat islam Di daerah ini tidak mrngakui Yazid. Mereka Mengangkat Husein sebagai Khalifah. Dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karbela, sebuah daerah di dekat Kufah, tentara Husein kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipengal dan dikirim ke damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbela.
ke Kufah atas permintaan golongan syi’ahyang ada di Irak. Umat islam Di daerah ini tidak mrngakui Yazid. Mereka Mengangkat Husein sebagai Khalifah. Dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karbela, sebuah daerah di dekat Kufah, tentara Husein kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipengal dan dikirim ke damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbela.
B. Pola Pemerintahan Dinasti Bani Umayyah
Aku tidak akan menggunakan pedang
ketika cukup mengunakan cambuk, dan tidak akan mengunakan cambuk jika cukup dengan
lisan. Sekiranya ada ikatan setipis rambut sekalipun antara aku dan sahabatku,
maka aku tidak akan membiarkannya lepas. Saat mereka menariknya dengan keras,
aku akan melonggarkannya, dan ketika mereka mengendorkannya, aku akan
menariknya dengan
keras. (Muawiyah ibn Abi Sufyan).
keras. (Muawiyah ibn Abi Sufyan).
Pernyataan di atas cukup mewakili
sosok Muawiyah ibn Abi Sufyan. Ia cerdas dan cerdik. Ia seorang politisi ulung
dan seorang negarawan yang mampu membangun peradaban besar melalui politik
kekuasaannya. Ia pendiri sebuah dinasti besar yang mampu bertahan selama hampir
satu abad. Dia lah pendiri Dinasti Umayyah, seorang pemimpin yang paling
berpengaruh pada abad ke 7 H. Di tangannya, seni berpolitik mengalami kemajuan
luar biasa melebihi tokoh-tokoh muslim lainnya. Baginya, politik adalah senjata
maha dahsyat untuk mencapai ambisi kekuasaaanya. Ia wujudkan seni berpolitiknya
dengan membangun Dinasti Umayyah. Gaya dan corak kepemimpinan pemerintahan Bani
Umayyah (41 H/661 M) berbeda dengan kepemimpinan masa-masa sebelumnya yaitu masa
pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin
dipilih secara demokratis dengan kepemimpinan kharismatik yang demokratis
sementara para penguasa Bani Umayyah diangkat secara langsung oleh penguasa
sebelumnya dengan menggunakan sistem Monarchi Heredities, yaitu kepemimpinan
yang di wariskan secara turun temurun. Kekhalifahan Muawiyyah diperoleh melalui
kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara
terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyyah
mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid.
Muawiyah bermaksud mencontoh Monarchi di Persia dan Binzantium. Dia memang
tetap menggunakan istilah Khalifah, namun dia memberikan interprestasi baru
dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut Dia menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian “Penguasa” yang
di angkat oleh Allah.
Karena proses berdirinya
pemerintahan Bani Umayyah tidak dilakukan secara demokratis dimana pemimpinnya
dipilih melalui musyawarah, melainkan dengan cara-cara yang tidak baik dengan
mengambil alih kekuasaan dari tangan Hasan bin Ali (41 H/661M) akibatnya,
terjadi beberapa perubahan prinsip dan berkembangnya corak baru yang sangat
mempengaruhi kekuasaan dan perkembangan umat Islam. Diantaranya pemilihan
khalifah dilakukan berdasarkan menunjuk langsung oleh khalifah sebelumnya
dengan cara mengangkat seorang putra mahkota yang menjadi khalifah berikutnya.
Orang yang pertama kali menunjuk putra mahkota adalah Muawiyah bin Abi Sufyan
dengan mengangkat Yazib bin Muawiyah. Sejak Muawiyah bin Abi Sufyan berkuasa
(661 M-681 M), para penguasa Bani Umayyah menunjuk penggantinya yang akan
menggantikan kedudukannya kelak, hal ini terjadi karena Muawiyah sendiri yang
mempelopori proses dan sistem kerajaan dengan menunjuk Yazid sebagai putra
mahkota yang akan menggantikan kedudukannya kelak. Penunjukan ini dilakukan
Muawiyah atas saran Al- Mukhiran bin Sukan, agar terhindar dari pergolakan dan
konflik politik intern umat Islam seperti yang pernah terjadi pada masa-masa
sebelumnya. Sejak saat itu, sistem pemerintahan Dinasti Bani Umayyah telah
meninggalkan tradisi musyawarah untuk memilih pemimpin umat Islam.
Untuk mendapatkan pengesahan, para penguasa
Dinasti Bani Umayyah kemudian memerintahkan para pemuka agama untuk melakukan
sumpah setia (bai’at) dihadapan sang khalifah. Padahal, sistem pengangkatan
para penguasa seperti ini bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi dan
ajaran permusyawaratan Islam yang dilakukan Khulafaur Rasyidin. Selain terjadi
perubahan dalm sistem pemerintahan, pada masa pemerintahan Bani Umayyah juga
terdapat perubahan lain misalnya masalah Baitulmal. Pada masa pemerintahan
Khulafaur Rasyidin, Baitulmal berfungsi sebagai harta kekayaan rakyat, dimana
setiap warga Negara memiliki hak yang sama terhadap harta tersebut. Akan tetapi
sejak pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan, Baitulmal beralih kedudukannya
menjadi harta kekayaan keluarga raja seluruh penguasa Dinasti Bani Umayyah
kecuali Umar bin Abdul Aziz (717-729 M).
Berikut nama-nama ke 14 khalifah Dinasti Bani Umayyah yang
berkuasa:
1. Muawiyah bin Abi Sufyan (41-60 H/661-680 M)
2. Yazid bin Muawiyah (60-64 M/680-683 M)
3. Muawiyah bin Yazid (64-64 H/683-683 M)
4. Marwan bin Hakam (64-65 H/683-685 M)
5. Abdul Malik bin Marwan (65-86 H/685-705 M)
6. Walid bin Abdul
Malik (86-96 H/705-715 M)
7. Sulaiman bin Abdul Malik (96-99 H/715-717 M)
8. Umar bin Abdul Aziz (99-101 H/717-720 M)
9. Yazid bin Abdul Malik (101-105 H/720-724)
10. Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H/724-743 M)
11. Walid bin Yazid (125-126 H/743-744 M)
12. Yazid bin Walid (126-127 H/744-745 M)
13. Ibrahim bin Walid (127-127 H/745-745 M)
14. Marwan bin Muhammad (127-132 H/745-750 M)[11]
C. Masa Pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz
Umar ibn Abdul Aziz adalah putra saudara
Sulayman, yaitu Abdul Aziz. Umar pantas diberi gelar khalifah kelima khulafaur
rasyidin karena kesholihan dan kemulyaannya. Sebelum ia diangkat menjadi
khalifah Dinasti Umayyah kedelapan, ia seorang yang kaya raya dan hidup dalam
kemegahan. Ia suka berpoya-poya dan menghambur-hamburkan uang. Namun setelah
diangkat menjadi khalifah, ia berubah total menjadi seorang raja yang sangat
sederhana, adil dan jujur.
Karena kesholihannya, ia dianggap sebagai
seorang sufistik pada jamannya. Ia juga disebut sebagai pembaharu islam abad
kedua hijriyah. Walaupun masa pemerintahnnya relatif singkat, yaitu sekitar
tiga tahunan, namun banyak perubahan yang ia lakukan. Diantaranya, ia melakukan
komunikasi politik dengan semua kalangan, termasuk kaum Syiah sekalipun. Ini
tidak dilakukan oleh saudara-saudaranya sesama raja dinasti Umayyah. Ia banyak
menghidupkan tanah-tanah yang tidak produktif, membangun sumur-sumur dan
masjid-masjid. Yang tidak kalah pentingnya, ia juga melakukan reformasi sistem
zakat dan sodaqoh, sehingga pada jamannya tidak ada lagi kemiskinan.
Pada masa pemerintahnnya, tidak ada
perluasan daerah yang berarti. Menurutnya, ekspansi islam tidak harus dilakukan
dengan cara imprealisme militer, tapi dengan cara dakwah. Dia juga memberi kebebasan
kepada penganut agama lain sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Pajak
diperingan,kedudukan mawali disejajarkan dengan muslim Arab. Umar mangkat dari
jabatannya pada tahun 101 H/719 M dengan meninggalkan karakter pemerintahan
yang adil dan bijaksana terhadap semua golongan dan agama. Penerusnya nanti
justru berbanding terbalik dengan karakter kepemimpinannya.
D. Ekspansi Wilayah Dinasti Bani Umayyah
Ekspansi yang terhenti pada masa
khalifah Usman dan Ali, dilanjutkan kembali oleh dinasti ini. Di zaman
Muawiyah,Tuniasia dapat ditaklukan. Disebelah timur, Muawiyah dapat menguasai
daerah Khurasan sampai ke sungai oxus dan Afghanistan sampai ke Kabul. Angkatan
lautnya melakukan serangan-serangan ke Ibukota Binzantium,
Konstantinopel.ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan
oleh khalifah Abd al-Malik. Ia mengirim
tentara menyebrangi sungai Oxus dan dapat berhasil menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Markhand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan.
tentara menyebrangi sungai Oxus dan dapat berhasil menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Markhand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan.
Ekspansi ke barat secara
besar-besaran dilanjutkan di zaman Walid ibn Abdul Malik. Masa pemerintahan
Walid adalah masa ketentraman, kemakmuran, dan ketertiban. Umat Islam mersa
hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh
tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah
barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. setelah al-Jajair dan Marokko
dapat ditaklukan, Tariq bin ziyad, pemimpin pasukan Islam,menyeberangi selat
yang memisahkan antara Marokko dengan benua Eropa, dan mendapat di suatu tempat
yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Tariq). Tentara Spanyol
dapat ditaklukkan. Dengan demikian Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya.
Ibu
kota Spanyol, Kordova, dengan cepat dikuasai. Menyusul kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova
kota Spanyol, Kordova, dengan cepat dikuasai. Menyusul kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova
Pada saat itu, pasukan Islam
memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat
setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa. Di zaman Umar bin
Abdul Aziz, serangan dilakukan ke Prancis melalui pegunungan Piranee. Serangan
ini dipimpin oleh Abdurahman ibn Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai menyerang
Bordeau, Poitiers. Dari sana ia menyerang Tours. Namun dalam peperangan di luar
kota Tours, al-Qhafii terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol.
Disamping daerah- daerah tersebut pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah juga
jatuh ke tangan Islam di zaman Bani Umayyah. Dengan keberhasilan ekspansi ke
beberapa daerah baik di Timur maupun Barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani
Umayyah sangat luas. Daerah-daerah tersrebut meliputi: Spanyol, Afrika Utara,
Syria, Palestina, jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia,
Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek dan Kirgis
di Asia Tengah (Nasution, 1985:62).
E.Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Bani
Umayyah
Dinasti Umayyah telah mampu
membentuk perdaban yang kontemporer dimasanya, baik dalam tatanan sosial,
politik, ekonomi dan teknologi. Berikut Prestasi bagi peradaban Islam dimasa
kekuasaan Bani Umayah didalam pembangunan berbagai bidang antara lain: Masa
kepemimpinan Muawiyah telah mendirikan dinas pos dan tempat-tempat dengan
menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan.
Menertibkan angkatan bersenjata.
Pencetakan mata uang oleh Abdul Malik, mengubah mata uang Byzantium dengan
Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Mencetak mata uang
sendiri tahun 659 M dengan memakai kata dan tulisan Arab. Jabatan khusus bagi
seorang Hakim ( Qodli) menjadi profesi sendiri .
Keberhasilan kholifah Abdul Malik melakukan
pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan Islam dan memberlakukan bahasa
Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam. Keberhasilannya
diikuti oleh putranya Al-Walid Ibnu Abdul Malik (705 – 719 M) yang berkemauan
keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan. Membangun panti-panti untuk
orang cacat. Dan semua personil yang terlibat dalam kegiatan humanis di gaji
tetap oleh Negara. Membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah
dengan daerah lainnya. Membangun pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan, dan
masjid-masjid yang megah.
Hadirnya Ilmu Bahasa Arab, Nahwu,
Sharaf, Balaghah, bayan, badi’, Isti’arah dan sebagainya. Kelahiran ilmu
tersebut karena adanya kepentingan orang-orang Luar Arab (Ajam) dalam rangka
memahami sumber-sumber Islam (Al- qur’an dan Al-sunnah). Pengembangan di
ilmu-ilmu agama, karena dirasa penting bagi penduduk luar jazirah Arab yang
sangat memerlukan berbagai penjelasan secara sistematis ataupun secara
kronologis tentang Islam. Diantara ilmu-ilmu yang berkembang yakni tafsir,
hadis, fiqih, Ushul fiqih, Ilmu Kalam dan Sirah/Tarikh. Asy-Syakhsiyyah
al-Islâmiyyah, jilid I, karya Syaikh
Taqiyuddin an-Nabhani, dalam bab, “Sîrah wa at-
Târîkh”, yang didukung dengan penelaahan atas
sejumlah kitab yang lain.
Taqiyuddin an-Nabhani, dalam bab, “Sîrah wa at-
Târîkh”, yang didukung dengan penelaahan atas
sejumlah kitab yang lain.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari penjelasan–penjelasan yang
telah disebutkan, maka dapat kita ambil beberapa kesimpulan. Proses
terbentuknya kekhalifahan Bani Umayyah dimulai sejak khalifah Utsman bin Affan
tewas terbunuh oleh tikaman pedang Humran bin Sudan pada tahun 35 H/656 M. Pada
saat itu khalifah Utsman bin Affan di anggap terlalu
nepotisme (mementingkan kaum kerabatnya sendiri).
nepotisme (mementingkan kaum kerabatnya sendiri).
Setelah wafatnya Utsman bin Afan
maka masyarakat Madinah mengangkat sahabat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah
yang baru. Dan masyrakat melakukan sumpah setia ( bai’at ) terhadap Ali pada tanggal
17 Juni 656 M / 18 Djulhijah 35 H. Dinasti umayyah diambil dari nama Umayyah
Ibn ‘Abdi Syams Ibn ‘Abdi Manaf, Dinasti ini sebenarnya mulai dirintis semenjak
masa kepemimpinan khalifah Utsman bin Affan namun baru kemudian berhasil
dideklarasikan dan mendapatkan pengakuan kedaulatan oleh seluruh rakyat setelah
khalifah Ali terbunuh dan Hasan ibn Ali yang diangkat oleh kaum muslimin di
Irak menyerahkan kekuasaanya pada Muawiyah setelah melakukan perundingan dan
perjanjian. Bersatunya ummat muslim dalam satu kepemimpinan pada masa itu
disebut dengan tahun jama’ah (‘Am al Jama’ah) tahun 41 H (661 M).
Sistem pemerintahan Dinasti Bani Umayyah
diadopsi dari kerangka pemerintahan Persia dan Bizantium, dimana ia menghapus
sistem tradisional yang cenderung pada kesukuan. Pemilihan khalifah dilakukan
dengan sistem turun temurun atau kerajaan, hal ini dimulai oleh Umayyah ketika
menunjuk anaknya Yazid untuk meneruskan pemerintahan yang dipimpinnya pada
tahun 679 M. Pada masa kekuasannya yang hampir satu abad, dinasti ini mencapai
banyak kemajuan. Dintaranya adalah: kekuasaan territorial yang mencapai wilayah
Afrika Utara, India, dan benua Eropa, pemisahan kekuasaan, pembagian wilayah
kedalam 10 provinsi, kemajuan bidang administrasi pemerintahan dengan
pembentukan dewan-dewan, organisasi keuangan dan percetakan uang, kemajuan
militer yang terdiri dari angkatan darat dan angkatan laut, organisasi
kehakiman, bidang sosial dan budaya, bidang seni
dan sastra, bidang seni rupa, bidang arsitektur, dan dalam bidang pendidikan.
dan sastra, bidang seni rupa, bidang arsitektur, dan dalam bidang pendidikan.
Kemunduran dan kehancuran Dinasti Bani Umayyah
disebabkan oleh banyak faktor, dinataranya adalah: perebutan kekuasaan antara
keluarga kerajaan, konflik berkepanjagan dengan golongan oposisi Syi’ah dan
Khawarij, pertentangan etnis suku Arab Utara dan suku Arab Selatan, ketidak
cakapan para khalifah dalam memimpin pemerintahan dan kecenderungan mereka yang
hidup mewah, penggulingan oleh Bani Abbas yang didukung penuh oleh Bani Hasyim,
kaum Syi’ah, dan golongan Mawali. bagi perjalanan suatu bangsa. Melalui
sejarah, kita belajar untuk menghargai perjuangan para pendahulu kita, belajar
menghargai tetes darah dan keringat mereka.
DAFTAR PUTAKA
Mashurimas, “Makalah Kekuasaan Dinasti Umayyah” , di akses
dari http:// mashurimas.blogspot.com/2011/01/makalah-
kekuasaan-dinasti-umayyah.html
kekuasaan-dinasti-umayyah.html
No comments:
Post a Comment