Thursday 14 June 2012

perjalan cintaku dengan suamiku

KISAH PALING SEDIH
Mohon dibaca meskipun panjang,,,,,,
Ambil hikmahnya,,,,,
Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan
dalam hatiku hampir
sepanjang kebersamaan kami. Meskipun
menikahinya, aku tak pernah
benar-benar menyerahkan hatiku padanya.
Menikah karena paksaan
orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.
Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah
menunjukkan sikap benciku.
Meskipun membencinya, setiap hari aku
melayaninya sebagaimana tugas
istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena
aku tak punya pegangan
lain. Beberapa kali muncul keinginan
meninggalkannya tapi aku tak
punya kemampuan finansial dan dukungan
siapapun. Kedua orangtuaku
sangat menyayangi suamiku karena menurut
mereka, suamiku adalah
sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya
mereka.
Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat
manja. Kulakukan
segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga
memanjakanku sedemikian rupa.
Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku
sebagai seorang istri.
Aku selalu bergantung padanya karena aku
menganggap hal itu sudah
seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku.
Aku telah menyerahkan
hidupku padanya sehingga tugasnyalah
membuatku bahagia dengan
menuruti semua keinginanku.
Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada
seorangpun yang berani
melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu
menyalahkan
suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah
yang diletakkan di tempat
tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa
mengaduk susu di
atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku
benci ketika ia
memakai komputerku meskipun hanya untuk
menyelesaikan pekerjaannya.
Aku marah kalau ia menggantung bajunya di
kapstock bajuku, aku juga
marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa
memencetnya dengan rapi, aku
marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali
ketika aku sedang
bersenang-senang dengan teman-temanku.
Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak.
Meskipun tidak bekerja,
tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia
mendukung dan akupun
ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia
menyembunyikan keinginannya
begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil
KB dan meskipun ia
tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru
menyadarinya setelah
lebih dari empat bulan, dokterpun menolak
menggugurkannya.
Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan
semakin bertambah
ketika aku mengandung sepasang anak kembar
dan harus mengalami
kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan
tindakan vasektomi
agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia
melakukan semua
keinginanku karena aku mengancam akan
meninggalkannya bersama kedua
anak kami.
Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa
berulang tahun yang
ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku
bangun paling akhir.
Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja
makan. Seperti biasa,
dialah yang menyediakan sarapan pagi dan
mengantar anak-anak ke
sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada
peringatan
ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan
anggukan tanpa
mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan
peristiwa tahun
sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak
hadir di acara
ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan
perkawinanku, aku juga
membenci kedua orangtuaku.
Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium
pipiku saja dan diikuti
anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku
sehingga anak-anak
menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha
mengelak dan melepaskan
pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum
bersama anak-anak. Ia
kembali mencium hingga beberapa kali di depan
pintu, seakan-akan
berat untuk pergi.
Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk
ke salon. Menghabiskan
waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon
langgananku beberapa
jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu
temanku sekaligus
orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan
asyik termasuk
saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya
aku harus membayar
tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika
menyadari bahwa
dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh
tasku hingga bagian
terdalam aku tak menemukannya di dalam tas.
Sambil berusaha
mengingat-ingat apa yang terjadi hingga
dompetku tak bisa kutemukan
aku menelepon suamiku dan bertanya.
“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan
dan aku tak punya
uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa
menaruhnya kembali
ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas
meja kerjaku.”
Katanya menjelaskan dengan lembut.
Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar.
Kututup telepon tanpa
menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian,
handphoneku kembali
berbunyi dan meski masih kesal, akupun
mengangkatnya dengan setengah
membentak. “Apalagi??”
“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil
dompet dan mengantarnya
padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya
suamiku cepat , kuatir
aku menutup telepon kembali. Aku menyebut
nama salonku dan tanpa
menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup
telepon. Aku berbicara
dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku
akan datang membayarkan
tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku
sebenarnya sudah
membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa
membayarnya nanti kalau
aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku
juga ikut
mendengarku ketinggalan dompet membuatku
gengsi untuk berhutang dulu.
Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap
mobil suamiku
segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku
semakin tidak sabar
sehingga mulai menghubungi handphone
suamiku. Tak ada jawaban
meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal
biasanya hanya dua
kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku
mulai merasa tidak
enak dan marah.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba.
Ketika suara
bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara
asing menjawab telepon
suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum
suara lelaki asing itu
memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah
ibu istri dari
bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera.
Lelaki asing itu
ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa
suamiku mengalami
kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah
sakit kepolisian.
Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab
terima kasih. Ketika
telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung.
Tanganku menggenggam
erat handphone yang kupegang dan beberapa
pegawai salon mendekatiku
dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku
menjadi pucat seputih
kertas.
Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah
sakit. Entah bagaimana
juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana
menyusulku. Aku yang
hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di
depan ruang gawat
darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena
selama ini dialah
yang melakukan segalanya untukku. Ketika
akhirnya setelah menunggu
beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan
maghrib terdengar seorang
dokter keluar dan menyampaikan berita itu.
Suamiku telah tiada. Ia
pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan
stroke-lah yang
menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar
kenyataan itu, aku malah
sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan
orangtuanya yang shock. Sama
sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua
mataku. Aku sibuk
menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak
yang terpukul memelukku
dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali
tak mampu membuatku
menangis.
Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di
hadapannya, aku
termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali
inilah aku
benar-benar menatap wajahnya yang tampak
tertidur pulas. Kudekati
wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat
itulah dadaku menjadi
sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku
selama sepuluh tahun
kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya
yang telah dingin dan
kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh
wajahnya yang dulu
selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak
dimataku, mengaburkan
pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap
agar airmata tak
menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin
mengingat semua
bagian wajahnya agar kenangan manis tentang
suamiku tak berakhir
begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku
semakin deras
membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam
mesjid yang mengatur
prosesi pemakaman tidak mampu membuatku
berhenti menangis. Aku
berusaha menahannya, tapi dadaku sesak
mengingat apa yang telah
kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.
Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan
kesehatannya. Aku
hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia
selalu mengatur apa
yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan
obat yang harus
kukonsumsi terutama ketika mengandung dan
setelah melahirkan. Ia tak
pernah absen mengingatkanku makan teratur,
bahkan terkadang
menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku
tak pernah tahu apa
yang ia makan karena aku tak pernah bertanya.
Bahkan aku tak tahu
apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh
keluarga tahu
bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan
kopi kental. Dadaku
sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin
terpaksa makan mie
instant karena aku hampir tak pernah memasak
untuknya. Aku hanya
memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku
tak perduli dia
sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia
bisa makan masakanku
hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam
setiap hari karena
dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah
mau menanggapi
permintaannya untuk pindah lebih dekat ke
kantornya karena tak mau
jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.
Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri
lagi. Aku pingsan ketika
melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan
tanah yang menimbun. Aku
tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur
besarku. Aku
terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga
dadaku. Keluarga besarku
membujukku dengan sia-sia karena mereka tak
pernah tahu mengapa aku
begitu terluka kehilangan dirinya.
Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya
bukanlah kebebasan
seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah
terjebak di
dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari
awal kepergiannya,
aku duduk termangu memandangi piring kosong.
Ayah, Ibu dan ibu
mertuaku membujukku makan. Tetapi yang
kuingat hanyalah saat suamiku
membujukku makan kalau aku sedang
mengambek dulu. Ketika aku lupa
membawa handuk saat mandi, aku berteriak
memanggilnya seperti biasa
dan ketika malah ibuku yang datang, aku
berjongkok menangis di dalam
kamar mandi berharap ia yang datang.
Kebiasaanku yang meneleponnya
setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di
rumah, membuat teman
kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap
malam aku
menunggunya di kamar tidur dan berharap esok
pagi aku terbangun
dengan sosoknya di sebelahku.
Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara
dengkurannya, tapi
sekarang aku bahkan sering terbangun karena
rindu mendengarnya
kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan
di kamar tidur
kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami
terasa kosong dan
hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan
pekerjaan dan
meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out,
sekarang aku
memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya
berharap bekas
jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku
paling tidak suka ia
membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang
bekasnya yang
tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau
kuhapus. Remote
televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang
dengan mudah
kutemukan meski aku berharap bisa mengganti
kehilangannya dengan
kehilangan remote. Semua kebodohan itu
kulakukan karena aku baru
menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah
terkena panah cintanya.
Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah
karena semua kelihatan
normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah
karena baju-bajunya
masih di sana meninggalkan baunya yang
membuatku rindu. Aku marah
karena tak bisa menghentikan semua
penyesalanku. Aku marah karena
tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak
ada lagi yang
mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan
dengan ikhlas. Aku
sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta
maaf pada Allah karena
menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku,
meminta ampun karena
telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang
begitu sempurna.
Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit
demi sedikit. Cinta
Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu
banyak perhatian dari
keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku
yang selama ini
kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan
batang hidung mereka
setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga
mengingatkanku untuk
bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang
menungguku dan harus
kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku.
Selama ini aku tahu beres
dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku.
Berapa besar
pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli,
yang kupedulikan
hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke
rekeningku untuk kupakai
untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu
hampir tak pernah
bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku
memperoleh gaji terakhir
beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya
aku terdiam tak
menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke
rekeningku selama
ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun
menggunakan untuk keperluan
rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh
uang lain untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah
bertanya sekalipun soal
itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau
anak-anakku takkan
bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan
kompensasi bonusnya
takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi
bekerja di mana?
Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama
sekali. Semuanya selalu
diatur oleh dia.
Kebingunganku terjawab beberapa waktu
kemudian. Ayahku datang
bersama seorang notaris. Ia membawa banyak
sekali dokumen. Lalu
notaris memberikan sebuah surat. Surat
pernyataan suami bahwa ia
mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan
anak-anak, ia menyertai
ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku
tak mampu berkata
apapun adalah isi suratnya untukku.
/Istriku Liliana tersayang,/
/Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih
dahulu, sayang. maaf
karena harus membuatmu bertanggung jawab
mengurus segalanya sendiri.
Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan
kasih sayang lagi.
Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena
mencintaimu dan
anak-anak adalah hal terbaik yang pernah
kulakukan untukmu./
/Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi
sayang selamanya. Tetapi
aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku
begitu saja. Selama ini
aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk
kehidupan kalian
nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku
pergi. Tak banyak yang
bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa
memanfaatkannya untuk
membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan
yang terbaik untuk
mereka, ya sayang. /
/Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan
banyak hal untuk
membuat hidupmu yang terbuang percuma
selama ini. Aku memberi
kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-
mimpi yang tak sempat kau
lakukan selama ini. Maafkan kalau aku
menyusahkanmu dan semoga Tuhan
memberimu jodoh yang lebih baik dariku./
/Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena
ayah tak bisa
mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu
dan Farhan,
ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan
jadi anak yang
bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian
berada, ayah akan
disana melihatnya. Oke, Buddy!/
Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun
dengan kacamata
yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia
mengirimkan note.
Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku
memiliki beberapa
asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan
ayah kandungnya.
Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil
deposito tabungan tersebut
dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun
dimanajerin oleh
orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa
menangis terharu
mengetahui betapa besar cintanya pada kami,
sehingga ketika ajal
menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan
cinta.
Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi.
Banyaknya lelaki yang
hadir tak mampu menghapus sosoknya yang
masih begitu hidup di dalam
hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-
anakku. Ketika
orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu
meninggalkanku
selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan
kesedihan sedalam
kesedihanku saat suamiku pergi.
Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga
tahun. Dua hari lagi
putriku menikahi seorang pemuda dari tanah
seberang. Putri kami
bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah
menjadi istri,
soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci,
gimana ya bu?”
Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang,
cintailah suamimu,
cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki
dan kau akan
mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan
belajar menyenangkan
hatinya, akan belajar menerima kekurangannya,
akan belajar bahwa
sebesar apapun persoalan, kalian akan
menyelesaikannya atas nama cinta.”
Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah?
Cinta itukah yang
membuat ibu tetap setia pada ayah sampai
sekarang?”
Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah
suamimu seperti ayah
mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian
berdua. Ibu setia
pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar
pada ibu dan kalian
berdua.”
Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat
menunjukkan cintaku pada
suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk
membencinya, tetapi
menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku
untuk mencintainya. Aku
bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah
bisa bebas dari
cintanya yang begitu tulus.

Tentang Ayah

Beberapa hal Yang tidak Diketahui Anak Tentang
Ayahnya ,,

1. Ayah ingin anak-anaknya punya lebih banyak
kesempatan daripada dirinya, menghadapi lebih sedikit
kesulitan, lebih tidak tergantung pada siapapun, dan
selalu membutuhkan kehadirannya.

2. Ayah membiarkan kamu menang dalam permainan
ketika kamu masih kecil, tapi dia tidak ingin kamu
membiarkannya menang ketika kamu sudah besar.

3. Ayah tidak ada di album foto keluarga, karena dia
yang selalu memotret.

4. Ayah selalu sedikit sedih ketika melihat anak-
anaknya pergi bermain dengan teman-teman mereka.
kkarena dia sadar itu adalah akhir masa kecil mereka.

5. Ayah mulai merencanakan hidupmu ketika tahu
bahwa ibumu hamil (mengandungmu), tapi begitu kamu
lahir, ia mulai membuat revisi.

6. Ayah membantu membuat impianmu jadi kenyataan
bahkan diapun bisa meyakinkanmu untuk melakukan
hal-hal yang mustahil, seperti berenang di air setelah ia
melepaskannya.

7. Ayah mungkin tidak tahu jawaban segala sesuatu,
tapi ia membantu kamu mencarinya.

8. Ayah mungkin tampak galak di matamu, tetapi di
mata teman-temanmu dia tampak baik dan
menyayangi.

9. Ayah lambat mendapat teman, tapi dia bersahabat
seumur hidup.

10. Ayah benar-benar senang membantu seseorang,
tapi ia sukar meminta bantuan.

11. Ayah di dapur. Membuat dan memasak seperti
penjelajahan ilmiah. Dia punya rumus-rumus dan
formula racikannya sendiri, dan hanya dia sendiri yang
mengerti bagaimana menyelesaikan persamaan-
persamaan rumit itu. Dan
hasilnya?... .mmmmhhh..."tidak terlalu mengecewakan" ^_~

12. Ayah paling tahu bagaimana mendorong ayunan
cukup tinggi untuk membuatmu senang tapi tidak takut.

13. Ayah akan sangat senang membelikanmu makanan
selepas ia pulang kerja, walaupun dia tak dapat
sedikitpun bagian dari makanan itu.

14. Ayah selalu berdoa agar kita menjadi orang yang
sukses di dunia dan akhirat, walaupun kita jarang
bahkan jarang sekali mendoakannya.

15. Ayah akan memberimu tempat duduk terbaik
dengan mengangkatmu dibahunya, ketika pawai lewat.

16. Ayah tidak akan memanjakanmu ketika kamu sakit,
tapi ia tidak akan tidur semalaman. Siapa tahu kamu
membutuhkannya.

17. Ayah percaya orang harus tepat waktu. Karena itu
dia selalu lebih awal menunggumu.

18. Ia akan melupakan apa yang ia inginkan, agar bisa
memberikan apa yang kamu butuhkan.

19. Ia menghentikan apa saja yang sedang
dikerjakannya, kalau kamu ingin bicara.

20. Ia selalu berfikir dan bekerja keras untuk
membayar uang sekolahmu tiap semester, meskipun
kamu tidak pernah memikirkannya, bagaimana ia
mendapatkannya.

21. Ayah mengangkat beban berat dari bahumu dengan
merengkuhkan tangannya disekeliling beban itu.

22. Ayah akan berkata, "Tanyakan saja pada ibumu,"
ketika ia ingin berkata, "Tidak".

23. Ayah tidak pernah marah, tetapi mukanya akan
sangat merah padam ketika anak gadisnya menginap
di rumah teman tanpa izin.

24. Dan diapun hampir tidak pernah marah, kecuali
ketika anak lelakinya kepergok menghisap rokok
dikamar mandi.

25. Ayah mengatakan, tidak apa-apa mengambil sedikit
resiko asal kamu sanggup kehilangan apa yang kamu
harapkan.

26. Pujian terbaik bagi seorang ayah adalah ketika dia
melihatmu melakukan sesuatu hal yang baik persis
seperti caranya.

27. Ayah lebih bangga pada prestasimu, daripada
prestasinya sendiri.

28. Ayah hanya akan menyalamimu ketika pertama
kali kamu pergi merantau meningalkan rumah, karena
kalau dia sampai memeluk mungkin ia tidak akan
pernah bisa melepaskannya.

29. Ayah tidak suka meneteskan air mata. Ketika kamu
lahir dan dia mendengar kamu menangis untuk
pertama kalinya, dia sangat senang sampai-sampai
keluar air dari matanya (ssst..tapi sekali lagi ini bukan
menangis).

30. Ketika kamu masih kecil, ia bisa memelukmu untuk
mengusir rasa takutmu...ketika kau mimpi akan
dibunuh monster...

31. Tapi, ternyata dia bisa menangis dan tidak bisa tidur
sepanjang malam, ketika anak gadis kesayangannya di
rantau tak memberi kabar selama hampir satu bulan.

32. Ayah pernah berkata, "Kalau kau ingin
mendapatkan pedang yang tajam dan berkualitas
tinggi, janganlah mencarinya dipasar apalagi tukang
loak, tapi datang dan pesanlah langsung dari pandai
besinya. Begitupun dengan cinta dan teman dalam
hidupmu, jika kau ingin mendapatkan cinta sejatimu kelak, maka minta dan pesanlah pada Yang
Menciptakannya"

33. Untuk masa depan anak lelakinya Ayah berpesan,
"Jadilah lebih kuat dan tegar daripadaku, pilihlah ibu
untuk anak-anakmu kelak wanita yang lebih baik dari
ibumu, berikan yang lebih baik untuk menantu dan
cucu-cucuku, daripada apa yang yang telah ku beri
padamu".

34. Dan untuk masa depan anak gadisnya ayah
berpesan, "Jangan cengeng meski kau seorang wanita,
jadilah selalu bidadari kecilku dan bidadari terbaik
untuk ayah anak-anakmu kelak. Laki-laki yang lebih
bisa melindungimu melebihi perlindungan Ayah, tapi
jangan pernah kau gantikan posisi Ayah di hatimu"

35. Ayah bersikeras, bahwa anak-anakmu kelak harus
bersikap lebih baik daripada kamu dulu.

36. Ayah bisa membuatmu percaya diri, karena ia
percaya padamu.

37. Ayah tidak mencoba menjadi yang terbaik, tapi dia
hanya mencoba melakukan yang terbaik.